Mengetuk Hati

"Bila kutahu, akan tiba ajalku.. Ijinkan aku tuk bertaubat pada-Mu"

Begitulah bait lagu dari Band Ungu, yang coba didendangkan dengan suara fals dan alat musik "icrik-icrik" oleh seorang anak kecil di bus P20 yang akan membawaku ke Kwitang pagi itu. Dengan wajah yang memelas dan pakaian yang lusuh, ia berusaha untuk mendapatkan rizki yang 4JJI titipkan pada para penumpang bus yang memandang kehadirannya dengan sebelah mata atau bahkan tak menghiraukannya. Mungkin juga termasuk diriku.

Si bocah kecil itu terus saja melantunkan lagu tersebut. Mungkin suaranya bagi sebagian penumpang, sungguh membuat tidak nyaman di telinga dan pengin agar cepet-cepet bocah itu menghentikan lagunya.

Namun seorang Bapak yang duduk disampingku, terlihat dengan serius melihat ke arah bocah kecil itu. Perhatiannya tak lepas sedikitpun, hingga bocah itu selesai dengan lagunya dan berusaha menjemput rizki dengan menghantarkan kantung permen kepada para penumpang dengan harapan kemurahan hati dengan kepingan rupiah.

Sementara bocah cilik itu turun dari bus dengan mendekap rizki yang ia dapatkan, Bapak itu , yang mungkin dari tadi juga memperhatikan sikapku, bertutur kepadaku.

"Dik... saya dari tadi mencoba membayangkan bagaimana jika yang mengamen, yang berdiri di depan pintu bus, yang mengulurkan kantung dengan penuh harap, itu adalah anak saya. Mungkin saya merenung terlampau jauh. Namun, jika 4JJI menghendaki diujung jalan itu, bus ini bertabrakan dan anda selamat, sementara saya, sebagai pencari nafkah dalam keluarga, meninggal sebagai korban kecelakaan, maka kondisi bisa berubah dengan cepat. Rumah saya akan diambil bank karena istri saya tidak mungkin sanggup membayar angsuran kredit rumah, anak saya berhenti sekolah karena tak ada biaya untuk itu, dan jika tabungan sudah habis sementara mereka butuh makan.. mungkin beberapa bulan kemudian, bocah yang naik bus ini untuk mengamen dengan wajah memelas dan baju yang lusuh... itu anak saya..."

Bapak itu menarik nafas dalam, sementara aku terkesima akan apa yang barusan beliau sampaikan.

"Andai semua orang di bus ini, terketuk hatinya, mungkin mereka akan lebih memerhatikannya. Namun, mungkin hati kita terlalu membatu dikarenakan kerasnya hidup dan kuasanya nafsu, hingga wajah yang memelas, baju yang kumuh dan suara yang mengharap tidak bisa mengetuk hati kita. Apakah mungkin harus dengan musibah seperti yang saya andaikan tadi, hati kita baru bisa terketuk ?... saat itu semuanya sudah terlambat" kata Bapak itu mengakhiri tuturannya.Dan tak lama kemudian Bapak itu pun turun dari bus.

Bus masih berjalan pelan melalui samping stasiun Gondangdia, dan sungguh aku masih merenungi apa yang baru saja kudengar dari Bapak itu tadi.


Silahkan Lihat Komentar.
Serta Mohon Komentar disampaikan secara baik dan sopan. Terimakasih